Laturake-Dataran pulau seram khususnya seram bagian barat masih memiliki luasan hutan yang besar dan terjaga kualitasnya. Hutan yang masih asri ini sering menjadi tumpuan kehidupan masyarakat di sekitarnya baik untuk menunjang aktifitas sosial, budaya maupun ekonomi.

Pemanfaatan hasil hutan sebagai salah satu sumber pendapatan ekonomi masyarakat, contoh nyatanya dapat kita temui di Desa Laturake Kecamatan Taniwel kabupaten Seram Bagian Barat.

Di sana masyarakat setempat memanfaatkan salah satu tanaman yang tumbuh liar di areal hutan sekitar desanya, yakni pohon Lawang atau dengan nama latin Cinnamomum culilawan BL. Lewat tangan-tangan kreatif mereka berhasil mengkreasikan sebuah produk olahan rumahan berupa minyak Lawang yang berbahan baku kulit pohon Lawang ini.

Dikelompokkan sebagai salah satu komoditas hasil hutan non kayu (non timber forest produk), Lawang ditemukan tumbuh di hutan-hutan Maluku dan Papua. Spesies tanaman ini termasuk dalam genus yang sama dengan pohon Kayu Manis, atau Manis Jangan, dimana kulit pohon ini di Pulau Jawa, banyak dimanfaatkan untuk aroma makanan dan minuman juga digunakan sebagai bahan untuk campuran obat tradisional. Lawang termasuk kelompok tanaman aromatik yang memiliki khasiat herbal.

Dengan pemilihan bahan baku yang benar serta proses pengolahan yang tepat kulit pohon ini dapat menghasilkan produk Minyak Lawang berkualitas dan masuk dalam kelompok Minyak Atsiri. Minyak astri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental saat berada pada suhu ruang namun mudah menguap dan memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri biasanya merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk pengobatan) alami yang dihasilkan dari proses penyulingan.

Untuk Minyak Lawang sendiri biasanya dikenal karena khasiatnya meredakan rematik, pegal-pegal, asam urat, mempercepat keringnya luka luar, sakit perut, gigitan serangga, keseleo, dan masih banyak lagi. Biasanya pengaplikasiannya dilakukan dengan cara mengusapkan minyak pada bagian yang sakit atau dapat juga diminum dengan dosis tertentu. Sensasinya panas akan timbul ketika minyak bersentuhan dengan kulit maupun saat ditelan.

Alasan mengapa Minyak ini memiliki beragam manfaat terletak pada komponen-komponen kimiawi yang terkandung di dalamnya. Komponen utamanya adalah senyawa Eugenol dan Safrol.

Eugenol dengan rumus kimia C10H12O2 adalah kelompok alilbenzena dari senyawa-senyawa fenol, merupakan senyawa yang berwarna bening hingga kuning pucat dan kental. Sedikit larut dalam air namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik. Aromanya menyegarkan dan pedas. Biasanya sering ditemui terkandung dalam minyak cengkeh, pohon pala, kulit pohon kayu manis dan pohon Salam.

Sedangkan Safrol atau biasanya juga disebut Shikimol adalah suatu Fenilpropena yang memiliki rumus kimia C10H10O2, biasanya ditemukan terkandung dalam berbagai rempah-rempah seperti Lada Hitam, Pala, Kayu manis hingga Kemangi. Zat ini merupakan cairan berminyak tidak berwarna hingga berwarna agak kuning dan beraroma khas tajam.

Untuk mendapatkan hasil minyak Lawang yang berkualitas, serangkaian proses perlu dilakukan antara lain pemilihan bahan baku, sortasi bahan baku, penghalusan bahan baku (cincang halus), proses penyulingan dengan alat distilasi, pemisahan minyak lawang dari air dan pengemasan dalam botol.

Menurut Yanto Suplatu ketua Kelompok Pemberdayaan Masyarakat minyak Lawang, untuk bahan baku biasanya diambil dari kulit pohon yang sudah berumur lebih dari 15 tahun agar minyak yang dihasilkan nantinya akan lebih baik kualitasnya. Untuk harganya biasanya dipatok senilai 25 ribu rupiah untuk kemasan 50 ml, 30 ribu rupiah kemasan 60 ml dan 50 ribu rupiah kemasan 100 ml.

“Awalnya pemanfaatan minyak lawang ini hanya sebatas memenuhi kebutuhan kami sendiri, tapi semenjak adanya bantuan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Seram Bagian Barat pada 2014 silam, berupa alat Penyulingan kami terpacu untuk memproduksinya secara masal” ungkap Suplatu.

Beliau menambahkan “Tapi terbatasnya populasi pohon dengan kriteria layak untuk dijadikan bahan baku inilah yang sering menjadi kendala bagi kami selama proses produksi, sehingga dibutuhkan kesabaran dan keuletan tersendiri. Selain itu untuk pemasarannya sendiri pun masih terbatas, karena hanya beredar di wilayah Taniwel dan sekitarnya. Pernah kami ikutkan dalam Pameran di kota Piru saat pelaksanaan Pesparawi tahun 2017 lalu sebagai upaya kami memperkenalkan produk kami ini, namun rasanya belum mampu mendongkrak penjualannya.”

“Harapan saya ke depan, kiranya Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat melalui instansi-instansi terkait dapat turut serta memperkenalkan dan mempromisikan Produk Minyak Lawang ini agar bisa seterkenal saudaranya minyak Kayu Putih karena dari segi khasiat dan kualitasnya tidak kalah bagusnya” tutup Suplatu.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY